Training Karyawan: Soft Skill atau Hard Skill Lebih Penting?

Training bikin pusing. Barangkali begitulah ungkapan yang sering terlontar dari sejumlah praktisi yang belum lama terjun ke bidang HR. Sebagai salah satu aspek penting dalam mengelola karyawan, training termasuk paling banyak mendapat perhatian dari para petinggi HR. Namun, banyak di antara mereka yang masih memerlukan referensi tentang seluk-beluk training. Dari hal-hal yang bersifat kuantitatif seperti alokasi waktu dan dana, sampai ke hal-hal yang lebih kuantitatif seperti, mana yang lebih didahulukan antara hard skill dan sof skill.



Banyak sekali pendapat polemik dan pendapat mengenai mana yang lebih penting diantara training soft skill dan hard skill dan polemik ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Di Inggris misalnya diadakan khusus riset oleh Universitas Warwick mengenai adanya kesenjangan antara apa yang dibutuhkan dan diharapkan perusahaan dengan tenaga kerja yang tersedia. yang mengindikasikan bahwa gap kompetensi yang menurut ranking yang tertinggi (19% dan 17%) dari calon karyawan adalah masalah kemampuan dalam berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim dimana kedua-duanya adalah menyangkut mengenai soft skills dan selanjutnya gap masalah hard skills menjadi urutan berikutnya.

Hal senada juga disampaikan oleh hasil riset dari majalah Six Sigma bulan Januari dan Febuari 2008 yang menanyai responden praktisi six sigma mengenai karakteristik apa yang penting bagi seseorang untuk sukses menjadi seorang Black Belt. Dari jawaban responden Six Sigma didapatkan bahwa masalah soft skill yaitu : komunikasi, interpersonal, leadership adalah hal-hal yang dianggap paling penting dan selanjutnya masalah teknikal dan analitikal (hard skill) merupakan hal berikutnya yang dianggap penting

Kenapa Soft Skills menjadi hal yang banyak dianggap penting ? Disinyalir oleh banyak ahli bahwa masalah terbesar organisasi abad ini adalah masalah sikap dan perilaku karyawan di hampir semua organisasi dari lesunya motivasi, buruknya kualitas dalam berkomunikasi, kerjasama tim yang lemah hingga ketidakcakapan memimpin yang pada akhirnya memunculkan kasus-kasus indisipliner dan produktivitas karyawan.

Ini berbeda dengan hard skill training yang lebih menekankan pada keterampilan-ketrampilan teknis. Misalnya penguasaan IT dan Komputer, Budgeting, Finance, General Affair, Operation Skill, Distribusi, Electrikal, sampai keterampilan-keterampilan khusus seperti pertukangan, memasak, atau menjahit. Hard Skills relatif lebih mudah dilihat dan diukur hasilnya secara kasat mata seperti kecepatan dan jumlah produksi yang dihasilkan dibandingkan dengan soft skill yang banyak dipertanyakan dan diperdebatkan mengenai cara pengukuran hasil trainingnya.

Bagi perusahaan yang masih tergolong baru seperti Mega Central Finance, training yang diberikan kepada karyawan lebih banyak bersifat hard skill. Seperti dituturkan oleh Business Support Director-nya, Iwan Setiawan, saat ini anak perusahaan Grup Para (pemilik Bank Mega) yang bergerak dalam jasa pembiayaan sepeda motor tersebut lebih fokus pada training yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis karyawan. Tidak ada alokasi waktu secara khusus, melainkan lebih berupa on the job training, dan simulasi langsung di lapangan. “Sedangkan untuk pelatihan soft skill-nya, kami kemas dalam forum sharing session setiap tiga bulan,” jelas dia.

“Secara umum, bicara tentang training, kaitannya sama job complexity,” ujar pendiri perusahaan konsultan organisasi dan HR I-SYS Consulting Christian Siboro. Penjelasanya, semakin tinggi kompeksitas sebuah pekerjaan, semakin banyak dibutuhkan softskill. Sebaliknya, pada pekerjaan yang tingkat kompleksitasnya rendah, dibutuhkan lebih banyak hardskill. Kompleksitas pekerjaan itu sendiri bisa berbanding lurus dengan hierarki, artinya semakin tinggi jabatan seseorang, otomatis pekerjaannya semakin kompleks.

Dengan gambaran tersebut, maka jelas sudah desain training yang ideal menghendaki porsi yang besar pada softskill untuk jabatan-jabatan tinggi yang memerlukan keterampilan kepemimpinan, komunikasi, membina hubungan dan bernegosiasi. Sebaliknya, pada karyawan level staf, kebutuhan untuk bernegosiasi atau membina hubungan misalnya, bukanlah sesuatu yang mendesak sehingga mereka lebih memerlukan porsi besar untuk pelarihan hardskill-nya.

Kalau mau diangkakan, Christian mengestimasi, pada orang-orang dengan job complexity yang tinggi, proporsi training antara softskill dan hardskill 70% berbanding 30% atau 80% berbanding 20%. Dan, berlaku sebaliknya untuk orang-orang dengan job complexity yang lebih rendah. Sementara untuk alokasi waktunya, Christian memberi gambaran umum, biasanya 10-15% dari working hours per orang per tahun.

Sedangkan dalam segi dana, Iwan Setiawan mengaku, “Tidak ada anggaran khusus, tapi mengenai persentase mungkin berkisar 2% sampai dengan 5% dari biaya tenaga kerja per tahun,” dengan perbandingan biaya antara softskill dan hardskill berbeda-beda untuk tiap tahunnya. Pada tahun pertama 30% : 70%, tahun kedua 40% : 60%, tahun ketiga dan seterusnya 50% : 50%

Di atas semua itu, Christian Siboro menegaskan bahwa kebutuhan training pada dasarnya akan datang dari hasil performance management system dan competency model. “Dari evaluasi terhadap kinerja serta standar kompetensi yang diperlukan untuk sebuah pekerjaan, maka perusahaan bisa mengetahui di mana kekurangan tiap-tiap individu untuk kemudian ditentukan training apa yang perlu diberikan kepada yang bersangkutan.”

Perdebatan mengenai hard skills dan soft skills menjadi hal selalu menarik dan tidak akan pernah berhenti untuk diperdebatkan, adalah penting bagi manajemen terutama divisi SDM untuk mengerti dengan baik mengenai kelemahan dan kekuatan organisasinya sehingga dapat menghasilkan prioritas-prioritas yang tepat bagi organisasi. Mengedepankan training soft skills tanpa membenahi kemampuan hard skills karyawan terlebih dahulu juga akan kurang tepat untuk perusahaan, sebaliknya ketakutan akan tidak terukurnya hasil dari training soft skill juga dapat dihindari dengan membangun sistem monitoring dan sistem umpan balik yang dapat diterapkan di dalam performance management system secara efektif.

No comments:

Post a Comment